4. Arga: Lintasan Tanpa Goresan Jauh dari pesisir, di kota itu, yang serba bersih dan berkilau, Arga menjalani harinya di balik kaca gedung tinggi yang memantulkan cahaya matahari, membuat ruangan menjadi sejuk dan dingin. Usianya tak jauh dari Saka. Namun nasibnya dipahat dari cetakan yang berbeda. Arga tidak pernah tahu sulitnya meracik angka-angka belanja bulanan atau bernego dengan langin, supaya dicegahnya hujan turun. Ia bekerja di kantor, eksekutif mudar, duduk di balik meja, mengetik pelan, berbicara ringan. Tak perlu tergesa-gesa, tak perlu takut terlambat. Konon katanya, keluarganya dekat dengan keluarga pemilik perusahaan. Di ruang-ruang rapat, orang menyebut nama ayahnya dengan nada segan. Maka kerja Arga, walau tak menonjol, tetap dirawat. Keberadaannya tak pernah dipertanyakan. Gaji yang masuk ke rekeningnya setiap bulan cukup untuk makan di tempat yang membuat Saka berhenti di depan etalase saja pun tak berani masuk. Arga tak pernah merasakan keringat membasahi pung...
Di sebuah pesisir, terbentang pemukiman yang terhimpit antara laut dan ladang garam. Dari kejauhan tampak siluet rumah-rumah reyot berderet memunggungi angin, seolah menunduk di bawah beban waktu. Di sinilah hidup dua insan—yang satu memijak usia muda dengan pundak tegar, yang laginya menyimpan bekas jejak hari yang panjang di garis kerut wajahnya. ### 1. Saka: Biar Letih, Harus Bergerak Saka, pemuda yang tubuhnya kurus, berkulit legam oleh sengatan sinar matahari, adalah anak negeri yang lahir bukan dari tanah subur kemudahan, melainkan dari debu yang berserak di pinggir jalan. Ia mengenal dunia sebagai arena dagang naskah hidup yang ditawarkan tanpa jaminan. Pagi-pagi buta, ketika kabut laut belum usai menebalkan udara, ia sudah memanaskan motor bututnya, mencabut nafas panjang, dan menebar energi untuk siapa pun yang memerlukan jasanya—mengantar barang, menuntun troli keranjang, atau memunggungi jerih lelah demi bayaran yang kerap tak lebih dari luka kecil pada tangan. Dalam ca...